Dwifungsi
ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang
menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan
dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.
Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di
dalam pemerintahan. Pernyataan di atas berdasarkan beberapa pidato
Soeharto. Soeharto mengatakan bahwa sejalan dengan pelaksanaan tugasnya
sebagai alat pertahanan dan keamanan, maka ABRI harus dapat dengan
tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan sosial, politik.
Sedangkan
dalam bentuknya ABRI sebagai kekuatan sosial, memiliki dua buah fungsi.
Yaitu fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. ABRI sebagai pelaksana
tugas keamanan Negara juga kemanunggalannya dengan rakyat yang lebih di
kenal dengan ABRI masuk desa maka dapat di kategorikan ABRI sebagai
dinamisator sedangkan sebagai stabilisator dalam kehidupan bangsa dan
negara. Sejarah mencatat bahwa ABRI telah membuktikan kedua fungsinya
dalam tindakan-tindakan berikut ini:
a.ABRI sebagai dinamisator :
1.Kemampuan
ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika
masyarakat , dan untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta
kebutuhan-kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata
membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat
melakukan partisipasi dalam pembangunan. Dalam halini dapat di contohkan
dalam amnunggal desa yang lebh di kenal dengan ABRI masuk desa, abri
masuk desa ini membantu segala hal yang yang berkaitan dengan pembanguna
desa dalam rangk mengabdi kepada masyarakat.
2.Kemampuan
tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut
merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan
asas-asas serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
termasuk juga rencana-rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di lain
pihak hal itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur
aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
3.Untuk dapat
lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan dan
untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social
dan disiplin nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber
pada Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka
ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan
disiplin nasional tersebut.
4.Sifat ABRI
yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang
maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori
usaha-usaha modernisasi.
b.ABRI sebagai stabilisator :
1.Kemampuan
ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika
masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam
masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka
pengawasan sosial.
2.Kesadaran
nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan
suatu penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat
negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri
masyarakat Indonesia.
3.Sifat ABRI
yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam
menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan
berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan
mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian
rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas-prioritas
permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
4.Dengan
demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan,
gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda
masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan
karenanya mengalami perubahan social yang sangat cepat.
Pengaturan
Dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai pada era Orde
Baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS
Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969
tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1978, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun
1988 tentang Prajurit ABRI.
Adapun penjelasan lebih lanjut tentang beberapa pasal tersebut adalah sebagai berikut :
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang antara lain mengatakan :
“Mengingat
Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan social harus kompak
bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila
dan UUG 1945 yang kuat dan sentosa.”
Ketetapan MPR
No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengukuhkan
Dwifungsi ABRI sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional
dengan kalimat :
“Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan
kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat bersama rakyat menegakkan
kemerdekaan bangsa dan negara.”
UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, pasal 16 berbunyi :
“Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan kemanan negara dan sebagai kekuatan social.”
Dalam Penjelasan Pasal ini dirumuskan :
“Fungsi
Angkatan bersenjata sebagai kekuatan social sudah ada sejak kelahirannya
serta merupakan bagian dari hasil proses perjuangan dan pertumbuhan
bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam marga kesatu sampai marga
ketiga Saptamarga dan dinyatakan sebagai salah satu modal dasar
pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. (Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978).
Selanjutnya dalam pasal 28 dikatakan :
“(1) Angkatan
bersenjata sebagai kekuatan social bertindak selaku dinamisator dan
stabilisator yang bersama-sama kekuatan social lainnya memikul tugas dan
tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa dalam
mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
(2) Dalam
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini angkatan
bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan
memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan
keputusan mengenai maslaah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan
demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam sefala usaha dan kegiatan pembangunan
nasional.”
Penjelasan Pasal ini berbunyi :
“Sepanjang
sejarah perjuangan bangsa Indonesia terbukti angkatan bersenjata
merupakan pengawal dan pengamal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang setia, sehingga dalam peranannya sebagai kekuatan social, angkatan
bersenjata mendayagunakan kempuannya selaku dinamisator dan stabilisator
dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan
perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional.
Dalam rangka
pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud di atas, angkatan bersenjata
diarahkan agar mampu secara aktif dan positif ikut serta memupuk serta
memantapkan perseatuan dan kesatuan bangsa dan mampu berpersan dalam
pembangunan nasional ke arah terwujudnya ketahanan nasional yang
tangguh.”
Terakhir, UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI menegaskan dalam Pasal 6-nya :
“Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan
keamanan negara dan kekuatan social politik.”
Secara umum
dapat kita jelaskan bahwa kedudukan militer pada masa orde baru ini
sangatlah banyak dalam bidang pemerintahan, tidak hanya dari tingkat
tertinggi namun juga sampai ke tingkat yang paling rendah pun masih
dipimpin oleh orang-orang yang berasaldari ABRI. Hal ini terjadi karena
adanya kepercayaan dari setiap kalangan bahwa ABRI mampu melaksanakan
tugas kenegaraan dan juga sudah pasti mampu melaksanakan tugas mengabdi
kepada masyarakat.
Keikutsertaan
militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer
percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan
pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki
kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
Ø Hubungan antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde Baru:
1)
Munculnya partai golkar kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan
dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap
meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan
pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar)
2)
Munculnya Partai Persatuan Pembangunan lahirlah PPP pada tanggal 5
Januari 1973 yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Ketersediaan partai-partai tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah
dan militer.
3)
Munculnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) PDI juga merupakan partai
yang terbentuk pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas
partai-partai yang cenderung bersifat nasionalis seperti PNI, Murba,
IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak dikategorikan
dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang terbentuk ini
kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde
Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga
tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Ø Dampak negative dari dwi fungsi ABRI
(a).
Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur,
Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang
“dikaryakan”,
(b). Selain
dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama
Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung
yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa
pada waktu itu,
(c). ABRI
melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan
menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
(d).
Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak
demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat
yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan
untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan
alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah
mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh
ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut,
(e). Menjadi
alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan
bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai
tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI,
sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan
(f). Tidak
berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal
tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen
sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap
bawahannya.