Sepertiga Indonesia Raya
Lagu yang membuat Belanda dan Jepang gentar ini seolah "terpenggal" menjadi sepertiga bagian.
Ir.
Soekarno (Bung Karno) didampingi Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada hari Jum'at tanggal 17
Agustus 1945 jam 10.00 pagi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang
jalan Proklamasi). (Wikimedia Commons)
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
jasa para pahlawannya. Bentuk penghargaan terbaik untuk negara yang
pernah terjajah adalah melaksanakan wasiat mereka yang membuka gerbang
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Wasiat paling nyata dari
pendiri bangsa ini adalah simbol-simbol yang menunjukkan jati diri
bangsa ini, yaitu Garuda Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, bendera merah
putih, dan lagu kebangsaan "Indonesia Raya".
Dari empat simbol
itu, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" adalah yang paling eksplisit
menyatakan siapa kita dan apa yang akan kita lakukan setelah berhak
menentukan nasib sendiri. Ironisnya, wasiat paling nyata ini juga adalah
yang paling terabaikan.
Garuda Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
dan bendera merah putih bisa ditemui dalam keadaan utuh, terawat,
sempurna, di banyak tempat, tetapi tidak dengan lagu "Indonesia Raya".
Lagu yang membuat Belanda dan Jepang gentar ini seolah "terpenggal"
menjadi sepertiga bagian.
Lagu kebangsaan"Indonesia
Raya" merupakan lagu kebangsaan, diatur rinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958. Di sini diatur detail, termasuk lirik
dan nada "Indonesia Raya".
Memang, mengacu pada PP tersebut, tak
ada keharusan untuk menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" utuh
tiga bait. Namun, tetap harus dipertimbangkan salah ketika tiga bait
lagu "Indonesia Raya" tidak dinyanyikan utuh pada hari terbesar negeri
ini, 17 Agustus, di Istana Negara.
Tetap pula harus dipandang
salah ketika tiga bait lagu kebangsaan "Indonesia Raya" tidak wajib
diajarkan di sekolah-sekolah. Tetap harus diyakini salah ketika ada anak
negeri ini tidak tahu bahwa lagu kebangsaan "Indonesia Raya" memiliki
tiga bait.
Soepartijah (71) mengaku diajarkan lagu kebangsaan
"Indonesia Raya" tiga bait ketika masih di Sekolah Rakyat di Jombang,
Jawa Timur, dan menyanyikannya pada hari peringatan kemerdekaan Republik
Indonesia. Begitu juga dengan Wijayanti (33) yang mengaku diajarkan
lagu kebangsaan "Indonesia Raya" tiga bait ketika duduk di bangku
sekolah dasar, di Purwokerto, Jawa Tengah.
Namun, Annisa (34)
mengaku tidak tahu bahwa lagu kebangsaan "Indonesia Raya" ada tiga bait.
Pengakuan yang sama juga disampaikan Kis (40), Ary Wibowo (26), dan Ade
(15). Tiga nama pertama adalah orang-orang yang masuk kategori kelas
menengah dan berpendidikan tinggi. Sementara nama terakhir mewakili
mereka yang kini duduk di bangku sekolah menengah. "Satu bait saja belum
tentu hafal," aku Ade.
Mungkin, ketidaktahuan juga yang membuat
Rio Febrian dan Edo Kondologit pernah berimprovisasi ketika menyanyikan
lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Rio berimprovisasi ketika menyanyikan
lagu kebangsaan "Indonesia Raya" pada kampanye pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Boediono pada 4 Juli 2009, sementara Edo berimprovisasi
pada peringatan ke-100 Kebangkitan Nasional pada 2008.
Padahal,
menurut PP Nomor 44 Tahun 1958, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" tidak
boleh diperdengarkan dengan nada-nada, irama, iringan, kata-kata, dan
gubahan-gubahan lain dari yang tertera dalam PP tersebut.
Bila di
acara yang dihadiri kepala negara pun kesalahan itu bisa ada, tak heran
bila sebuah perusahaan rokok dengan bangga menjadikan lagu "Indonesia
Raya" menjadi iklan pada peringatan Hari Ulang Tahun Ke-68 Kemerdekaan
Indonesia. Sementara salah satu larangan tegas dalam PP soal lagu
kebangsaan adalah penggunaan lagu ini untuk iklan dalam bentuk apa pun.
"Pesan tak sampai" para pendiri bangsaSebagai
catatan, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" diciptakan Wage Rudolf
Supratman dan diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda 28 Oktober
1928. Saat itu, WR Supratman memperdengarkan lagu ini dengan biola.
Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" "yang asli" dirilis
Koran Sin Po edisi
November 1928 dan diaransemen ulang oleh orang Belanda, Jos Cleber,
pada 1950, dengan pertimbangan Soekarno. Lagu kebangsaan "Indonesia
Raya" yang diaransemen Jos Cleber itulah yang dinyanyikan sampai
sekarang.
Berikut ini tiga bait lirik lagu kebangsaan "Indonesia Raya" versi 1950 yang kemudian menjadi acuan PP Nomor 44 Tahun 1958.
Bait IIndonesia tanah airku,Tanah tumpah darahku,Di sanalah aku berdiri,Jadi pandu ibuku.Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku, Marilah kita berseru, Indonesia bersatu.Hiduplah tanahku,Hiduplah neg'riku,Bangsaku, Rakyatku, semuanya,Bangunlah jiwanya,Bangunlah badannya,Untuk Indonesia Raya.Bait IIIndonesia, tanah yang mulia,Tanah kita yang kaya,Di sanalah aku berdiri,Untuk s’lama-lamanya.Indonesia, tanah pusaka, P’saka kita semuanya, Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia.Suburlah tanahnya,Suburlah jiwanya,Bangsanya, rakyatnya, semuanya,Sadarlah hatinya,Sadarlah budinya,Untuk Indonesia Raya.Bait IIIIndonesia, tanah yang suci,Tanah kita yang sakti,Di sanalah aku berdiri,N’jaga ibu sejati.Indonesia, tanah berseri, Tanah yang aku sayangi, Marilah kita berjanji, Indonesia abadi.S’lamatlah rakyatnya,S’lamatlah putranya,Pulaunya, lautnya, semuanya,Majulah Neg’rinya,Majulah pandunya,Untuk Indonesia Raya.RefreinIndonesia Raya,Merdeka, merdeka,Tanahku, neg'riku yang kucinta!Indonesia Raya,Merdeka, merdeka,Hiduplah Indonesia Raya.Melalui
lagu kebangsaan "Indonesia Raya", pendiri bangsa ini berpesan supaya
warga negara bersatu dan itu artinya menghargai perbedaan. Namun, hari
ini, ada warga negara yang kesulitan beribadah, bahkan di kampung
halamannya sendiri.
Pendiri negeri ini lewat lagu "Indonesia
Raya" mengingatkan generasi penerusnya untuk menjaga tanah dan pulau.
Namun, sudah berapa kekayaan laut yang dicuri pukat harimau tetangga?
Mereka yang seharusnya menjadi penjaga negeri ini pun malah kerap
ketahuan membuka pintu rumahnya sendiri untuk pencuri. Berapa pulau yang
hilang? Sipadan dan Ligitan, misalnya, sudah tak lagi dalam pelukan Ibu
Pertiwi.
Indonesia juga "tak lagi kaya". Negeri yang
diperebutkan negara-negara asing karena kekayaan alam yang
dimiliki, kini mengirim wanita-wanitanya meninggalkan anak, suami, dan
orangtua untuk bekerja di luar negeri. Parahnya, ketika wanita-wanita
itu tak diperlakukan layaknya manusia, penyalur tenaga kerja menolak
mengongkosi mereka pulang dengan alasan, "Kami rugi."
Bila lagu
ini benar-benar menjadi "roh" bagi bangsa ini, sungguh malu ketika di
lagu kebangsaan yang membanggakan kesuburan tanah Indonesia, justru
faktanya impor meraja untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tak hanya untuk
beras yang menjadi bahan pangan utama, impor juga menjadi pilihan
pengelola negara untuk memenuhi kebutuhan daging, kedelai, bawang,
bahkan garam.
Karena itu, bisa jadi, Indonesia hanya bertambah
usia, tetapi belum menjadi besar setelah 68 tahun merdeka. Bukan berarti
sudah tak ada lagi kesempatan bangsa ini menjadi besar. Tak mesti pula
kebesaran itu didapat melalui jalan perang.
Bangsa ini lahir dari
benih dan rahim orang-orang yang tak jerih berjuang meraih kemerdekaan,
apa pun taruhannya. Barangkali, kebesaran bangsa ini bisa diawali
dengan kembali merapal secara utuh "mantra" berupa lirik "Indonesia
Raya" yang dulu menggetarkan Belanda dan Jepang, untuk kemudian
menjadikannya nyata lewat karya anak bangsa.