Haram Dimanfaatkan, Haram Diperdagangkan
Segala sesuatu yang haram pemanfaatannya, maka haram pula diperdagangkan.
Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“
Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan upah (hasil jual belinya).”[1]
Dalam lafazh musnad Imam Ahmad disebutkan,
وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ ، حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“
Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia pun melarang upah (hasil penjualannya).”[2]
Yang termasuk dalam pemanfaatan yang haram sehingga jual belinya
terlarang adalah jual beli rokok, dadu, kartu judi, buku yang berisi
kekufuran, kebid’ahan, pemikiran sesat atau berisi akhlak yang rusak
seperti buku porno, buku yang berisi gambar perempuan yang membuka
aurat, baju yang terdapat gambar makhluk yang memiliki ruh, baju yang
terdapat gambar wanita, pakaian wanita yang ketat dan seksi, dan baju
yang memiliki salib.
Segala makanan atau minuman yang diharamkan, maka diharamkan pula
diperdagangkan. Sebagian yang dimaksud sudah disebutkan di atas. Makanan
lainnya yang diharamkan adalah:
- Hewan yang disembelih tanpa disebut nama Allah.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam
itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)
- Hewan yang dikurbankan atau sebagai tumbal untuk selain Allah.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“
Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3).
- Keledai jinak, sedangkan keledai liar itu halal.
Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ
“
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.“[3]
- Binatang yang bertaring dan burung yang memiliki cakar.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ
مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap
binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai
kuku untuk mencengkeram.”[4]
An Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan
memiliki taring -menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut
digunakan untuk berburu (memangsa).”[5] Adapun yang dimaksud dengan
mikhlab (cakar) adalah cakar yang digunakan untuk memotong dan merobek
seperti pada burung nasar dan burung elang, sebagaimana dikatakan oleh
penulis ‘Aunul Ma’bud.[6]
- Hewan jalalah (yang mengkonsumsi yang najis atau mayoritas konsumsinya najis)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.”[7]
- Setiap yang diperintahkan untuk dibunuh
Dari ‘Aisyah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“
Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya)[8] yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).”[9]
Yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk
anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun
sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa
(penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya.
Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu
‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[10]
Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk
dibunuh adalah cecak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin
Abi Waqqosh, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
“
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh tokek, beliau menyebut hewan ini dengan hewan yang fasik.”[11] Imam Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim dengan judul Bab “
Dianjurkannya membunuh cecak.”
Dari Ummu Syarik –
radhiyallahu ‘anha-, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ
وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ »
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
membunuh cecak. Beliau bersabda, “Dahulu cecak ikut membantu meniup api
(untuk membakar) Ibrahim ‘alaihis salam.”
[12]
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ
وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
“
Barang siapa yang membunuh cecak sekali pukul, maka dituliskan
baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka
baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa
memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.”[13]
- Setiap hewan yang dilarang untuk dibunuh
Hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka ia dilarang untuk dikonsumsi
karena jika dilarang untuk dibunuh berarti dilarang untuk disembelih.
Lalu bagaimana mungkin seperti ini dikatakan boleh dimakan. Hewan-hewan
tersebut adalah semut, lebah, burung hudhud, burung shurod (kepalanya
besar, perutnya putih, punggungnya hijau dan katanya biasa memangsa
burung pipit), dan katak.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,
إِنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ
الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ.
“
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.”[14]
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman, ia berkata,
أَنَّ
طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ
يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ
قَتْلِهَا.
“
Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.”[15]
Al Khottobi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa katak itu haram
dikonsumsi dan ia tidak termasuk hewan air yang dibolehkan untuk
dikonsumsi.”[16]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Segala hewan yang dilarang untuk
dibunuh disebabkan karena dua alasan. Pertama, karena hewan tersebut
adalah terhormat (seperti semut dan lebah, pen) sebagaimana manusia.
Kedua, boleh jadi pula karena alasan daging hewan tersebut haram untuk
dimakan seperti pada burung Shurod, burung Hudhud dan semacamnya.”[17]
[1] HR. Ad Daruquthni 3: 7 dan Ibnu Hibban 11: 312. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[2] HR. Ahmad 1: 293. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[3] HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940.
[4] HR. Muslim no. 1934.
[5] Syarh Shahih Muslim, 13: 77.
[6] ‘Aunul Ma’bud, 10: 198.
[7] HR. Abu Daud no. 3785 dan At Tirmidzi no. 1824. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih
[8] Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa
Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia
keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan
ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan
membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan.
Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik
karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di
tanah haram dan ketika ihram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 101.
[9] HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198.
[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115.
[11] HR. Muslim no. 2238.
[12] HR. Bukhari no. 3359.
[13] HR. Muslim no. 2240.
[14] HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1: 332. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[16] Aunul Ma’bud, 10: 252
[17] Idem.