Perjanjian yang Tidak Sah dalam Jual Beli
Pernah kita
melihat ada suatu persyaratan yang dipajang oleh sebuah toko, “Barang
yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi.” Ini adalah persyaratan
yang dibuat pemilik toko. Apakah setiap persyaratan atau perjanjian
semacam ini sah? Atau masih melihat pada aturan Islam.
Perjanjian yang Bertentangan dengan Aturan Islam
Perjanjian dalam jual beli tidak selamanya mesti dipenuhi. Ada yang
bertentangan dengan syari’at atau prinsip Islam, perjanjian tersebut
tidak boleh dipenuhi.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Bariroh (budak
wanita dari kaum Anshar) pernah mendatangi Aisyah, lantas ia meminta
pada Aisyah untuk memerdekakan dia (dengan membayar sejumlah uang pada
tuannya, disebut akad mukatabah, -pen). Aisyah mengatakan, “Jika engkau
mau, aku akan memberikan sejumlah uang pada tuanmu untuk pembebasanmu.
Namun hak wala’mu untukku -di mana wala’ itu adalah hak warisan yang
jadi milik orang yang memerdekakannya nantinya-.
Lantas majikan Bariroh berkata, “Aku mau, namun hak wala’mu tetap untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang dan Aisyah
menceritakan apa yang terjadi. Beliau pun bersabda, “Bebaskan dia
-Bariroh-, tetapi yang benar, hak wala’ adalah bagi orang yang
memerdekakan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata di
atas mimbar,
مَا
بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ،
مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ
اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“
Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang
menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut
bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat
tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504).
Dari hadits di atas bisa diambil pelajaran penting bahwa setiap
perjanjian atau persyaratan yang bertentangan dengan aturan Islam, maka
itu adalah persyaratan keliru yang tidak boleh dipenuhi.
Perjanjian yang Tidak Sah
Perjanjian dalam jual beli yang tidak sah ada dua bentuk.
Pertama, ada perjanjian yang kembali pada rusaknya akad, yaitu tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli.
Misalnya, barang yang dijual tidak jelas atau harganya tidak jelas,
ada ghoror di dalamnya. Atau bisa juga objek yang dijual tidak bisa
diserahterimakan.
Ada juga yang tidak memenuhi maksud dari akad. Misalnya saja dalam
pernikahan dipersyaratkan menikah untuk nantinya ditalak. Padahal maksud
nikah yang sebenarnya adalah untuk menjalin hubungan yang terus
menerus, bukan sifatnya temporer.
Kedua, ada perjanjian yang merupakan syarat yang
batil, namun tidak sampai merusak akad karena tidak mencacati rukun atau
pun syarat jual beli.
Beberapa contoh perjanjian atau persyaratan yang batil:
1- Seseorang berinvestasi dan mempersyaratkan tidak mau menanggung
rugi, hanya mau menarik laba. Padahal telah digariskan sebuah kaedah
dari hadits,
الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“
Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian.”
(HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu
Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan).
Jadi kalau memang ingin meraup untung, maka harus punya kesiapan pula
untuk menanggung kerugian. Kalau tidak berani demikian, maka itu sama
saja meminjamkan uang, lalu ingin meraup untung. Padahal para ulama
telah menggariskan sebuah kaedah yang mereka sepakati,
كل قرض جر منفعة فهو حرام
“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.”
Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (
Al Mughni, 6: 436)
2- Suatu perusahaan menjual roti pada suatu toko. Jika roti tersebut
tidak laku, maka si punya toko boleh kembalikan pada perusahaan. Ini
syarat yang tidak benar.
Yang dibolehkan adalah seperti pada sistem konsinyasi. Konsinyasi
merupakan suatu perjanjian di mana pihak yang memiliki barang
menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan
memberikan komisi atau keuntungan sebagaimana yang telah disepakati.
Jika ada barang yang tersisa, boleh dikembalikan pada pihak perusahaan.
Pada kasus konsinyasi ini, toko adalah sebagai wakil dari perusahaan
dalam menjual barang. Jual beli yang demikian itu dibolehkan dan sah.
3- Penjual menulis pada nota pembelian, “Barang yang sudah dibeli
tidak dapat dikembalikan lagi.” Syarat ini adalah syarat yang tidak
benar. Maksud penjual dengan syarat ini adalah supaya akad jual beli
tersebut bersifat lazim (tidak bisa dibatalkan), walau terdapat aib
(cacat).
Yang benar, jika ada cacat, barang masih boleh dikembalikan oleh
pembeli. Bisa jadi barang cacat itu ditukar dengan yang baru atau bisa
jadi diambil uang setelah mendapatkan potongan.
4- Pembeli masih memiliki pilihan untuk mengembalikan barang -misal
jika mendapati cacat-, namun tidak bisa minta uang kembali. Yang bisa
dilakukan oleh si pembeli adalah mengganti barang lain dengan harga yang
sama. Syarat ini juga adalah syarat yang keliru. Syarat tersebut
terdapat ghoror karena barang yang ditukar tidaklah jelas barang yang
mana. Begitu pula memudaratkan si pembeli karena seakan-akan penjual
memaksa untuk memilih barang yang lain yang tidak jelas, namun harganya
harus sama.
5- Dalam
sistem kredit motor (leasing),
jika debitur (pihak yang berutang) menunda pelunasan cicilan satu waktu
tertentu, maka dibuat syarat bahwa barang kredit tersebut harus
dikembalikan. Ini adalah syarat yang keliru karena bertentangan dengan
konsekuensi akad yaitu adanya penundaan bayaran dengan harga yang lebih
tinggi. Ini juga termasuk tindakan zalim dari pihak kreditur pada
debitur. Padahal dalam masalah utang piutang jika ada orang yang
benar-benar susah untuk membereskan utangnya, hendaknya diberi tenggang
waktu. Allah
Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280). Baca selengkapnya
hukum leasing (kredit lewat pihak ketiga).