Sabtu, 06 September 2014

Kebiasaan Tidur Pagi Ternyata Berbahaya

Kebiasaan Tidur Pagi Ternyata Berbahaya


Kita telah ketahui bersama bahwa waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah dan di antara waktu yang kita diperintahkan untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, pada kenyataannya kita banyak melihat orang-orang melalaikan waktu yang mulia ini. Waktu yang seharusnya dipergunakan untuk bekerja, melakukan ketaatan dan beribadah, ternyata dipergunakaan untuk tidur dan bermalas-malasan.
Saudaraku, ingatlah bahwa orang-orang sholih terdahulu sangat membenci tidur pagi. Kita dapat melihat ini dari penuturan Ibnul Qayyim ketika menjelaskan masalah banyak tidur yaitu bahwa banyak tidur dapat mematikan hati dan membuat badan merasa malas serta membuang-buang waktu. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Banyak tidur dapat mengakibatkan lalai dan malas-malasan. Banyak tidur ada yang termasuk dilarang dan ada pula yang dapat menimbulkan bahaya bagi badan.
Waktu tidur yang paling bermanfaat yaitu :
[1] tidur ketika sangat butuh,
[2] tidur di awal malam –ini lebih manfaat daripada tidur di akhir malam-,
[3] tidur di pertengahan siang –ini lebih bermanfaat daripada tidur di waktu pagi dan sore-. Apalagi di waktu pagi dan sore sangat sedikit sekali manfaatnya bahkan lebih banyak bahaya yang ditimbulkan, lebih-lebih lagi tidur di waktu ‘Ashar dan awal pagi kecuali jika memang tidak tidur semalaman.
Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah). Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang-orang sholih. Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rizki dan datangnya barokah (banyak kebaikan).” (Madarijus Salikin, 1/459, Maktabah Syamilah)
BAHAYA TIDUR PAGI [1]
[Pertama] Tidak sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah.
[Kedua] Bukan termasuk akhlak dan kebiasaan para salafush sholih (generasi terbaik umat ini), bahkan merupakan perbuatan yang dibenci.
[Ketiga] Tidak mendapatkan barokah di dalam waktu dan amalannya.
[Keempat] Menyebabkan malas dan tidak bersemangat di sisa harinya.
Maksud dari hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnul Qayyim. Beliau rahimahullah berkata, “Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya.” (Miftah Daris Sa’adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.
[Kelima] Menghambat datangnya rizki.
Ibnul Qayyim berkata, “Empat hal yang menghambat datangnya rizki adalah [1] tidur di waktu pagi, [2] sedikit sholat, [3] malas-malasan dan [4] berkhianat.” (Zaadul Ma’ad, 4/378)
[Keenam] Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Ma’ad, 4/222)

Hukum Jual Beli Patung

Hukum Jual Beli Patung


Kita lihat di mana-mana bertebaran berbagai macam patung bisa jadi sebagai monumen atau sekedar dipajang di rumah. Dalam Islam jual beli patung itu terlarang karena dilarang dalam hadits karena perantara menuju kesyirikan.
Dalam hadits Jabir disebutkan,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” (HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 4132). Yang dimaksud shonam dalam hadits adalah patung yang memiliki bentuk tubuh.
Mengenai alasan haramnya jual beli patung, sebagian ulama mengatakan bahwa sebabnya karena tidak ada manfaatnya.
Ada yang berpendapat, jika patung tersebut dihancurkan, lalu yang sudah hancur tersebut dijual, baru dibolehkan.
Imam Ash Shon’ani mengatakan, “Alasan larangan jual beli patung karena adanya larangan jual beli benda tersebut. Namun boleh menjual yang sudah dihancurkan karena bukan lagi disebut patung atau berhala (ash-nam). Dan tidak ada satu pun dalil yang melarang jual beli patung yang sudah dihancurkan.” (Subulus Salam, 5: 11)
Alasan lainnya dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan bahwa patung dilarang diperjualbelikan karena dapat merusak agama serta sebagai perantara menuju kesyirikan.  Sama halnya dengan jual beli salib dan kitab yang berisi kesyirikan dan peribadahan kepada selain, jelas juga haramnya. Wallahu a’lam. (Lihat Minhatul ‘Allam, 6: 17).
Yang menunjukkan bahwa membuat patung adalah perantara menuju kesyirikan disebutkan dalam perkataan Ibnu Taimiyah berikut ini. Beliau berkata, “Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya mengatakan bahwa mereka yang disebut dalam surat Nuh adalah orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika mereka mati, orang-orang pada i’tikaf di sisi kubur mereka. Lalu mereka membuat patung orang sholih tersebut. Lantas orang sholih tersebut disembah. Ini sudah masyhur dalam kitab tafsir dan hadits, serta selainnya seperti disebutkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ Al Fatawa, 1: 151).
Ayat yang dimaksudkan oleh Ibnu Taimiyah,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23). Ibnu Katsir berkata bahwa ini adalah nama-nama berhala-berhala orang musyrik. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 389.
Disebutkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa berhala-berhala tersebut adalah berhala yang disembah di zaman Nabi Nuh. (Idem, 7: 390)

Sifat Shalat Nabi (22): Keadaan Tangan Ketika Sujud

Sifat Shalat Nabi (22): Keadaan Tangan Ketika Sujud


Bagaimanakah keadaan tangan ketika sujud?
Ini satu bahasan yang terlewatkan ketika Rumaysho.Com membahas cara sujud. Bagaimanakah posisi tangan saat itu. Kita akan melihat dalam hadits-hadits berikut ini.
Dari Ibnu Buhainah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat, beliau merenggangkan lengan tangannya (ketika sujud) hingga nampak putih ketiak beliau.” (HR. Bukhari no. 390 dan Muslim no. 495).
Dari Al Bara’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ
Jika engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu.” (HR. Muslim no. 494).
Dari Wail bin Hujr, ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ « إِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ »
Ketika sujud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merapatkan jari jemarinya.” (HR. Hakim dalam Mustadroknya 1: 350. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim dan disetujui pula oleh Imam Adz Dzahabi)
Ada empat tuntunan yang diajarkan dalam hadits-hadits di atas:
1- Meletakkan kedua telapak tangan di lantai, bahkan telapak tangan tersebut merupakan anggota sujud yang mesti diletakkan sebagaimana telah diterangkan dalam Sifat Shalat Nabi (10): Cara Sujud.
2- Saat sujud, jari-jemari tangan dirapatkan.
3- Disunnahkan menjauhkan dua lengan dari samping tubuh ketika sujud.
Namun perihal di atas dikecualikan jika berada dalam shalat jamaah. Perlu dipahami bahwa membentangkan lengan seperti itu dihukumi sunnah. Ketika cara sujud seperti itu dilakukan saat shalat jamaah berarti mengganggu yang berada di kanan dan kiri. Syaikh Muhammad bin Shalih bin Shalih Al ‘Utsaimin membawakan suatu kaedah dalam masalah ini,
أَنَّ تَرْكَ السُّنَّةِ لِدَفْعِ الأَذَى أَوْلَى مِنْ فِعْلِ السُّنَّةِ مَعَ الأَذَى
“Meninggalkan perkara yang hukumnya sunnah untuk menghindarkan diri dari mengganggu orang lain lebih utama dari mengerjakan hal yang sunnah namun mengganggu orang lain.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 264).
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dua adab awal ketika sujud ini dengan mengatakan, “Hendaknya yang sujud meletakkan kedua telapak tangannya ke lantai dan mengangkat sikunya dari lantai. Hendaklah lengannya dijauhkan dari sisi tubuhnya sehingga nampak bagian dalam ketiaknya ketika ia tidak berpakaian tertutup (seperti memakai kain selendang saja ketika berihram saat haji atau umrah, -pen). Inilah cara sujud yang disepakati oleh para ulama. Jika ada yang tidak melakukannya, maka dapat dihukumi shalatnya itu jelek, namun shalatnya itu sah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 187).
4- Lengan mesti diangkat, tidak menempel pada lantai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengangkatnya dan tidak menempelkan lengan atau siku ke lantai saat sujud. Dalam hadits disebutkan pula,
اعْتَدِلُوا فِى السُّجُودِ ، وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
Bersikaplah pertengahan ketiak sujud. Janganlah salah seorang di antara kalian menempelkan lengannya di lantai seperti anjing yang membentangkan lengannya saat duduk.” (HR. Bukhari no. 822 dan Muslim no. 493).
Cara Sujud yang Keliru dengan Menempelkan Lengan di Lantai
Cara Sujud yang Keliru dengan Menempelkan Lengan di Lantai
Apa hikmah mengangkat siku atau lengan tangan ketika sujud? Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hikmah melakukan cara seperti itu adalah untuk mendekatkan pada sifat tawadhu’. Cara seperti itu pula akan membuat anggota sujud yang mesti menempel benar-benar menempel ke lantai yaitu dahi dan hidung. Cara sujud seperti itu pula akan menjauhkan dari sifat malas. Perlu diketahui bahwa cara sujud dengan lengan menempel ke tanah menyerupai anjing yang membentangkan lengannya. Keadaan lengan seperti itu pula pertanda orang tersebut meremehkan shalat dan kurang perhatian terhadap shalatnya. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 187)

Puasa Daud, Puasa Paling Istimewa

Puasa Daud, Puasa Paling Istimewa


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi-Nya. Dalam postingan-postingan sebelumnya, kami telah menyinggung mengenai beberapa puasa sunnah, juga membahas keutamaannya. Pada kesempatan kali ini, kami akan menyajikan materi puasa lainnya yaitu mengenai puasa Daud. Puasa Daud adalah melakukan puasa sehari, dan keesokan harinya tidak berpuasa. Semoga bermanfaat.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
Puasa yang paling disukai di sisi Allah adalah puasa Daud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur di pertengahan malam dan bangun pada sepertiga malam terakhir dan beliau tidur lagi pada seperenam  malam terakhir. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan buka sehari.”[1]
Faedah hadits:
1. Hadits ini menerangkan keutamaan puasa Daud yaitu berpuasa sehari dan berbuka (tidak berpuasa) keesokan harinya. Inilah puasa yang paling dicintai di sisi Allah dan tidak ada lagi puasa yang lebih baik dari itu.
2. Di antara faedah puasa Daud adalah menunaikan hak Allah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya dan menunaikan hak badan yaitu dengan mengistirahatkannya (dari makan).
3. Ibadah begitu banyak ragamnya, begitu pula dengan kewajiban yang mesti ditunaikan seorang hamba begitu banyak. Jika seseorang berpuasa setiap hari tanpa henti, maka pasti ia akan meninggalkan beberapa kewajiban. Sehingga dengan menunaikan puasa Daud (sehari berpuasa, sehari tidak), seseorang akan lebih memperhatikan kewajiban-kewajibannya dan ia dapat meletakkan sesuatu sesuai dengan porsi yang benar.
4. Abdullah bin ‘Amr sangat semangat melakukan ketaatan. Ia ingin melaksanakan puasa setiap hari tanpa henti, begitu pula ia ingin shalat malam semalam suntuk. Karena ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi solusi padanya dengan yang lebih baik. Untuk puasa beliau sarankan padanya untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya. Namun Abdullah bin ‘Amr ngotot ingin mengerjakan lebih dari itu. Lalu beliau beri solusi agar berpuasa sehari dan tidak berpuasa keesokan harinya. Lalu tidak ada lagi yang lebih afdhol dari itu. Begitu pula dengan shalat malam, Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk seperti shalat Nabi Daud. Nabi Daud ‘alaihis salam biasa tidur di pertengahan malam pertama hingga sepertiga malam terakhir. Lalu beliau bangun dan mengerjakan shalat hingga seperenam malam terkahir. Setelah itu beliau tidur kembali untuk mengistirahatkan badannya supaya semangat melaksanakan shalat Fajr, berdzikir dan beristigfar di waktu sahur.
5. Berlebih-lebihan hingga melampaui batas dari keadilan dan pertengahan dalam beramal ketika beribadah termasuk bentuk ghuluw (berlebih-lebihan) yang tercela. Hal ini dikarenakan menyelisihi petunjuk Nabawi dan juga dapat melalaikan dari berbagai kewajiban lainnya. Hal ini dapat menyebabkan seseorang malas, kurang semangat dan lemas ketika melaksanakan ibadah lainnya. Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
6. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.”[2]
7. Tidak mengapa jika puasa Daud bertepatan pada hari Jumat atau hari Sabtu karena ketika yang diniatkan adalah melakukan puasa Daud dan bukan melakukan puasa hari Jumat atau hari Sabtu secara khusus.

Hukum Garansi Barang

Hukum Garansi Barang


Sebenarnya bagaimana hukum garansi dalam tinjauan syari’at Islam? Apakah dibolehkan ataukah tidak sebagai bentuk pelayanan tambahan bagi konsumen?
Guru kami, Syaikh ‘Abdul Karim Khudair hafizhohullah berkata,
- الضمان الذي يؤخذ في مقابله ثمن له وقع في السلعة، يعني إذا كان الجوال مثلاً دون ضمان بألف، وبضمان بألف ومئتين، فهاتان المئتان في مقابل صناعة مجهولة، وإصلاح مجهول، فيمنع من هذه الحيثية، أما إذا قال صاحب المحل: أنا أبيعك الجوال بألف سواءً أتيتنا به لنصلحه لك، أم لم تأتنا، وليس لها وقع في الثمن، ولا اتخذ قيمة محددة من أجل إصلاحه فلا بأس؛ لأن الإصلاح حينئذٍ يكون تبرعاً من البائع.
“Garansi yang diambil dengan adanya  biaya tambahan dari harga barang. Misalnya jika harga HP adalah 1000 riyal tanpa garansi. Namun jika dengan garansi menjadi 1200 riyal. Dua ratus riyal di sini sebagai tambahan untuk servis, di mana dari sisi penggunaan tidaklah jelas. Bentuk garansi seperti ini terlarang.
Yang boleh adalah garansi di mana si penjual mengatakan bahwa harga HP adalah 1000 riyal baik nantinya ada servis ataukah tidak.  Jadi tidak ada biaya tambahan pada harga HP tersebut untuk servis. Intinya, untuk masalah servis adalah kerelaan dari si penjual.” (Sumber fatwa: http://www.al-forqan.net/fatawa/1005.html)
Dapat disimpulkan bahwa garansi barang ada dua macam:
Pertama, biaya garansi dan harga jual barang berbeda. Garansi jenis pertama ini terlarang mengingat ada ghoror atau untung untungan.
Kedua, biaya garansi menyatu dengan harga barang sehingga mau ada perbaikan di kemudian hari ataukah tidak ada harga barang tetap. Garansi semacam ini hukumnya tidak mengapa karena perbaikan barang dalam hal ini statusnya adalah kebaikan penjual artinya keuntungan penjualan digunakan untuk biaya garansi.

Perjanjian dalam Jual Beli

Perjanjian dalam Jual Beli


Kadang antara penjual dan pembeli membuat perjanjian di mana dari perjanjian ini ada manfaat dan maslahat. Bagaimana hukum memenuhi perjanjian semacam itu?

Perbedaan Perjanjian dan Syarat Jual Beli

Perbedaan antara perjanjian ini dengan syarat jual beli adalah:
1- Syarat jual beli ditetapkan oleh syari’at. Perjanjian jual beli ditetapkan oleh penjual dan pembeli.
2- Syarat jual beli berkonsekuensi sahnya akad. Perjanjian jual beli berkonsekuensi perjanjian tersebut wajib dijalani oleh penjual dan pembeli.
3- Syarat jual beli tidak bisa digugurkan. Perjanjian jual beli boleh dibatalkan.
4- Syarat jual beli ada sebelum akad. Perjanjian jual beli boleh di awal, di tengah, juga selama jangka waktu yang diberikan untuk khiyar majelis dan khiyar syarat.

Hukum Asal Perjanjian

Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1).
Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu pun harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir,
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)

Perjanjian yang Sah

Perjanjian (persyaratan) yang sah bisa jadi syarat tersebut sudah sepatutnya ada dalam akad seperti adanya penyerahan barang dari penjual dan uang bayaran dari pembeli.
Bisa jadi pula syarat yang dibuat adalah berkaitan dengan maslahat akad. Misal, dalam jual beli kredit mesti ada jaminan atau agunan.
Boleh juga dipersyaratkan pada barang yang akan dibeli. Misal, dipersyaratkan mobil yang dibeli adalah mobil Kijang Innova berwarna hitam dengan type 2.5 G, mesin diesel. Persyaratan ini harus dipenuhi. Jika dipenuhi, maka jadilah jual beli tersebut. Jika tidak dipenuhi, maka bisa dibatalkan atau si penjual memberikan ganti rugi.
Boleh juga syarat yang dibuat adalah dengan adanya manfaat yang diambil terlebih dahulu. Misal saja, calon pembeli berkata, “Saya mau membeli mobilmu dengan syarat engkau menservisnya terlebih dahulu.” Contoh lain, si penjual berkata, “Saya mau menjualkan rumah ini padamu dengan syarat saya tinggal di rumah ini selama sebulan terlebih dahulu.”Atau tidak berkaitan dengan barang, namun si penjual berkata, “Saya mau menjualkan padamu mobil ini, asalkan saya boleh menggunakan rumahmu sebulan lamanya.”
Untuk persyaratan manfaat di atas didukung dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin membeli unta milik Jabir yang sudah lemah berjalan, namun Jabir memberi syarat agar unta tersebut bisa dimanfaatkan terlebih dahulu untuk ditunggangi ke rumah, baru setelah itu diserahkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata,
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى
“Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggang unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ
“Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari no. 2406 dan Muslim no. 715).
Semoga bermanfaat. Masih berlanjut pada persyaratan atau perjanjian yang tidak sah.

Perjanjian yang Tidak Sah dalam Jual Beli

Perjanjian yang Tidak Sah dalam Jual Beli


Pernah kita melihat ada suatu persyaratan yang dipajang oleh sebuah toko, “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi.” Ini adalah persyaratan yang dibuat pemilik toko. Apakah setiap persyaratan atau perjanjian semacam ini sah? Atau masih melihat pada aturan Islam.

Perjanjian yang Bertentangan dengan Aturan Islam

Perjanjian dalam jual beli tidak selamanya mesti dipenuhi. Ada yang bertentangan dengan syari’at atau prinsip Islam, perjanjian tersebut tidak boleh dipenuhi.
Dari  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Bariroh (budak wanita dari kaum Anshar) pernah mendatangi Aisyah, lantas ia meminta pada Aisyah untuk memerdekakan dia (dengan membayar sejumlah uang pada tuannya, disebut akad mukatabah, -pen). Aisyah mengatakan, “Jika engkau mau, aku akan memberikan sejumlah uang pada tuanmu untuk pembebasanmu. Namun hak wala’mu untukku -di mana wala’ itu adalah hak warisan yang jadi milik orang yang memerdekakannya nantinya-.
Lantas majikan Bariroh berkata, “Aku mau, namun hak wala’mu tetap untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang dan Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Beliau pun bersabda, “Bebaskan dia -Bariroh-, tetapi yang benar, hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata di atas mimbar,
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504).
Dari hadits di atas bisa diambil pelajaran penting bahwa setiap perjanjian atau persyaratan yang bertentangan dengan aturan Islam, maka itu adalah persyaratan keliru yang tidak boleh dipenuhi.

Perjanjian yang Tidak Sah

Perjanjian dalam jual beli yang tidak sah ada dua bentuk.
Pertama, ada perjanjian yang kembali pada rusaknya akad, yaitu tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli.
Misalnya, barang yang dijual tidak jelas atau harganya tidak jelas, ada ghoror di dalamnya. Atau bisa juga objek yang dijual tidak bisa diserahterimakan.
Ada juga yang tidak memenuhi maksud dari akad. Misalnya saja dalam pernikahan dipersyaratkan menikah untuk nantinya ditalak. Padahal maksud nikah yang sebenarnya adalah untuk menjalin hubungan yang terus menerus, bukan sifatnya temporer.
Kedua, ada perjanjian yang merupakan syarat yang batil, namun tidak sampai merusak akad karena tidak mencacati rukun atau pun syarat jual beli.
Beberapa contoh perjanjian atau persyaratan yang batil:
1- Seseorang berinvestasi dan mempersyaratkan tidak mau menanggung rugi, hanya mau menarik laba. Padahal telah digariskan sebuah kaedah dari hadits,
الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian.” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Jadi kalau memang ingin meraup untung, maka harus punya kesiapan pula untuk menanggung kerugian. Kalau tidak berani demikian, maka itu sama saja meminjamkan uang, lalu ingin meraup untung. Padahal para ulama telah menggariskan sebuah kaedah yang mereka sepakati,
كل قرض جر منفعة فهو حرام
“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
2- Suatu perusahaan menjual roti pada suatu toko. Jika roti tersebut tidak laku, maka si punya toko boleh kembalikan pada perusahaan. Ini syarat yang tidak benar.
Yang dibolehkan adalah seperti pada sistem konsinyasi. Konsinyasi merupakan suatu perjanjian di mana pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan komisi atau keuntungan sebagaimana yang telah disepakati. Jika ada barang yang tersisa, boleh dikembalikan pada pihak perusahaan. Pada kasus konsinyasi ini, toko adalah sebagai wakil dari perusahaan dalam menjual barang. Jual beli yang demikian itu dibolehkan dan sah.
3- Penjual menulis pada nota pembelian, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi.” Syarat ini adalah syarat yang tidak benar. Maksud penjual dengan syarat ini adalah supaya akad jual beli tersebut bersifat lazim (tidak bisa dibatalkan), walau terdapat aib (cacat).
Yang benar, jika ada cacat, barang masih boleh dikembalikan oleh pembeli. Bisa jadi barang cacat itu ditukar dengan yang baru atau bisa jadi diambil uang setelah mendapatkan potongan.
4- Pembeli masih memiliki pilihan untuk mengembalikan barang -misal jika mendapati cacat-, namun tidak bisa minta uang kembali. Yang bisa dilakukan oleh si pembeli adalah mengganti barang lain dengan harga yang sama. Syarat ini juga adalah syarat yang keliru. Syarat tersebut terdapat ghoror karena barang yang ditukar tidaklah jelas barang yang mana. Begitu pula memudaratkan si pembeli karena seakan-akan penjual memaksa untuk memilih barang yang lain yang tidak jelas, namun harganya harus sama.
5- Dalam sistem kredit motor (leasing), jika debitur (pihak yang berutang) menunda pelunasan cicilan satu waktu tertentu, maka dibuat syarat bahwa barang kredit tersebut harus dikembalikan. Ini adalah syarat yang keliru karena bertentangan dengan konsekuensi akad yaitu adanya penundaan bayaran dengan harga yang lebih tinggi. Ini juga termasuk tindakan zalim dari pihak kreditur pada debitur. Padahal dalam masalah utang piutang jika ada orang yang benar-benar susah untuk membereskan utangnya, hendaknya diberi tenggang waktu. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280). Baca selengkapnya hukum leasing (kredit lewat pihak ketiga).

Hobi Memancing

Hobi Memancing


Sebagian orang  menjadikan memancing sebagai hobi. Hobi ini berbeda dengan para nelayan yang memang profesinya seperti itu untuk menafkahi keluarga. Pas weekend, ada yang memanfaatkan waktu untuk menyalurkan hobi ini. Ada pula yang menjadikan hobi ini tanpa mengenal waktu bahkan melalaikan kewajiban.

Menyalurkan Hobi

Menyalurkan hobi itu diperkenankan, sebagaimana hukum asal segala aktivitas itu boleh. Namun sudah semestinya, hobi semacam ini tidak melalaikan waktu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan kita untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976. Imam Nawawi menyatakan hasannya hadits ini dalam kitab Al Arba’in An Nawawiyah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Rajab berkata bahwa jika Islam seseorang itu baik, maka sudah barang tentu ia akan meninggalkan perkara yang haram, syubhat dan perkata yang makruh, begitu pula ia akan tinggalkan sikap berlebihan dalam hal mubah yang sebenarnya ia tidak butuh. Meninggalkan hal yang tidak bermanfaat semisal itu menunjukkan baiknya seorang muslim.  (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 289).
Yang disebut tidak bermanfaat adalah jika ada yang salurkan hobi tanpa mengenal waktu. Itu sudah lebih dari kebutuhan refreshing. Seperti misalnya ada yang sampai memancing hingga 12 jam. Hak keluarga pun dilalaikan. Padahal waktu dari Senin s/d Sabtu, semua digunakan untuk kerja. Pas hari Ahad dinanti-nanti untuk anak dan istri untuk bersama, namun malah digunakan untuk memancing ikan.
Kalau memang ikan yang jadi kebutuhannya, tentu bisa dibeli di pasar ikan. Namun demikianlah kalau sudah gandrung dengan hobi tersebut.

Berjudi Lewat Mancing

Berjudi pun dijadikan ajang untuk menyalurkan hobi memancing tersebut. Di antara bentuknya: satu kolam diborong bersama oleh 10 orang peserta -misalnya- lalu dipancing bersama. Ini untung-untungan dan termasuk judi, ada yang dapat banyak dan ada yang dapat sedikit.
Yang dimaksud dengan judi disebutkan oleh para ulama berikut ini.
Imam Syafi’i berkata, “Maysir itu di dalamnya ada taruhan yang dipasang dan nanti (bagi yang beruntung) akan ada hasil yang diambil.” Disebutkan dalam Tafsir Al Kabir karya Ar Rozi.
Ibnu Qudamah berkata, “Qimar (judi) adalah setiap yang bertaruh atau yang berlomba memasang taruhan, nanti ada yang beruntung dan nanti ada yang merasakan rugi.” Disebutkan dalam Al Mughni, 13: 408.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang dimaksud judi adalah harta orang lain diambil dengan jalan memasang taruhan di mana taruhan tersebut ada kemungkinan didapat atau tidak.” (Al Majmu’ Al Fatawa, 19: 283).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, “Setiap perlombaan atau saling bertaruh di mana ada taruhan di antara kedua belah pihak.” Dinukil dari Taisir Al Karimir Rahman.

Tempat Pemancingan yang Bermasalah

Tempat pemancingan yang bermasalah, misalnya dengan memberikan tarif Rp.50.000,- untuk 2 jam. Ikan yang diperoleh berapa pun, pokoknya bayarannya seperti itu, baik hasil pancingan sedikit maupun banyak. Ini termasuk bentuk ghoror, karena objek yang dijual tidaklah jelas.
Disebutkan dalam hadits,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari ghoror” (HR. Muslim no. 1513).
Juga terdapat larangan dalam hadits dari Ibnu Mas’ud yang tepatnya mauquf -perkataan sahabat-,
لاَ تَشْتَرُوا السَّمَكَ فِى الْمَاءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ
Janganlah membeli ikan di dalam air. Itu termasuk ghoror.” (HR. Ahmad 1: 388. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Diriwayatkan secara marfu’ dan mauquf, yang lebih shahih adalah riwayat yang mauquf. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa hadits ini mauquf).
Al Jarjaniyy mengatakan bahwa yang dimaksud ghoror adalah,
بأنّه ما يكون مجهول العاقبة لا يدرى أيكون أم لا
“Ghoror itu hasil akhir (akibatnya) majhul (tidak diketahui), tidak diketahui akan ada ataukah tidak.” Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah.
Untuk menghindari ghoror, seharusnya hasil pancingan ditimbang. Hasil timbanganlah yang dibayar.

Solusi Menyalurkan Hobi

Perhatikan waktu, perhatikanlah kewajiban terhadap keluarga, lebih-lebih kewajiban untuk beribadah, jauhilah perjudian, dan ghoror.

Hukum Jual Beli Alat Musik

Hukum Jual Beli Alat Musik


Di antara jual beli yang diharamkan adalah jual beli alat musik. Penghasilan dari jual beli tersebut adalah haram.
Dari Abu Umamah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لاَ تَبِيعُوا الْقَيْنَاتِ وَلاَ تَشْتَرُوهُنَّ وَلاَ تُعَلِّمُوهُنَّ وَلاَ خَيْرَ فِى تِجَارَةٍ فِيهِنَّ وَثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ فِى مِثْلِ هَذَا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ ( وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِى لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ »
Janganlah menjual dan membeli budak biduanita, jangan pula mengajarkan pada mereka, tidak ada kebaikan dalam perdagangan seperti itu. Upah jual belinya pun haram. Untuk yang semisal ini turunlah ayat (yang artinya), “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna[1] untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.”[2] hingga akhir ayat.[3]
Al Mubarakfuriy berkata tentang ayat yang disebut di atas bahwa yang dimaksud adalah musik dan suara yang diharamkan yang melalaikan dari mengingat Allah.[4]
Dalam kitab karya Al Khotib Asy Syarbini yaitu Mughni Al Muhtaj disebutkan, “Berbagai alat musik seperti at thunbuur tidak wajib ada ganti rugi ketika barang tersebut dihancurkan. Karena barang yang diharamkan pemanfaatannya tidak ada kompensasi sama sekali ketika dihancurkan.”[5] Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa alat musik adalah alat yang haram. Konsekuensinya tentu haram diperjualbelikan.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar penjelasan dari Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’) karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Al Hushniy Ad Dimasyqi Asy Syafi’i ketika menjelaskan perkataan Abu Syuja’ bahwa di antara jual beli yang tidak sah (terlarang) adalah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Taqiyuddin memaparkan bahwa jika seseorang mengambil upah dari jual beli seperti ini, maka itu sama saja mengambil harta dengan jalan yang batil. Dalam perkataan selanjutnya, beliau berkata, “Adapun alat musik yang biasa melalaikan dari dzikirullah jika telah dihancurkan, maka tidak dianggap lagi harta berharga seperti yang telah hancur tadi berupa kayu dan selainnya, maka jual belinya tetap batil (tidak sah) karena saat itu tidak ada manfaatnya secara syar’i. Tidaklah yang melakukan demikian kecuali ahli maksiat.”[6]
Tentang haramnya musik diterangkan dalam dua hadits berikut ini. Dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari, ia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.[7]
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ رَاحِلَتَهُ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”[8]
Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,
اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ
“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) menimbulkan mudarat yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”[9]
Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Rumaysho.Com sekalian.
Hanya Allah yang memberi taufik.


[1] Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Ada pula yang menafsirkan dengan membeli para biduanita. Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in. Lihat Fathul Qodir, 4: 308.
[2] QS. Luqman: 6.
[3] HR. Tirmidzi no. 1282, Ibnu Majah no. 2168 dan Ahmad 5: 264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[4] Tuhfatul Ahwadzi , 4: 538.
[5] Mughnil Muhtaj, 2: 368.
[6] Kifayatul Akhyar, hal. 285.
[7] HR. Bukhari no. 5590 secara mu’allaq –tanpa sanad- dengan lafazh jazm/ tegas.
[8] HR. Ahmad 2: 8. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[9] Majmu’ Al Fatawa, 11: 567.

Hukum Jual Beli Gambar dan Lukisan

Hukum Jual Beli Gambar dan Lukisan


Gambar atau lukisan yang memiliki ruh seperti manusia dan hewan haram diperdagangkan. Sedangkan gambar selain itu yang tidak memiliki ruh, masih dibolehkan seperti gambar pohon, gunung, pemandangan, bebatuan, dan pantai.
Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata,
كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنِّى إِنْسَانٌ ، إِنَّمَا مَعِيشَتِى مِنْ صَنْعَةِ يَدِى ، وَإِنِّى أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ . فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ أُحَدِّثُكَ إِلاَّ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ سَمِعْتُهُ يَقُولُ « مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ ، حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا » . فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ . فَقَالَ وَيْحَكَ إِنْ أَبَيْتَ إِلاَّ أَنْ تَصْنَعَ ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ ، كُلِّ شَىْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ
Aku dahulu pernah berada di sisi Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Ketika itu ada seseorang yang mendatangi beliau lantas ia berkata, “Wahai Abu ‘Abbas, aku adalah manusia. Penghasilanku berasal dari hasil karya tanganku. Aku biasa membuat gambar seperti ini.” Ibnu ‘Abbas kemudian berkata, “Tidaklah yang kusampaikan berikut ini selain dari yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pernah mendengar beliau bersabda, “Barangsiapa yang membuat gambar, Allah akan mengazabnya hingga ia bisa meniupkan ruh pada gambar yang ia buat. Padahal ia tidak bisa meniupkan ruh tersebut selamanya.” Wajah si pelukis tadi ternyata berubah menjadi kuning. Kata Ibnu ‘Abbas, “Jika engkau masih tetap ingin melukis, maka gambarlah pohon atau segala sesuatu yang tidak memiliki ruh.”[1]
Bagaimana jika gambar atau lukisan tersebut terpotong tidak terlihat bernyawa?
Ibnu Qudamah berkata, “Jika bagian kepala itu dipotong, maka hilanglah larangan. Ibnu ‘Abbas berkata,
الصُّورَةُ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُوْرَةٍ
“Disebut gambar (yang terlarang) adalah jika ada kepalanya. Namun jika kepalanya itu terpotong, maka itu bukanlah gambar (yang terlarang).” Perkataan ini diceritakan dari ‘Ikrimah.
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَانِي جِبْرِيلُ ، فَقَالَ : أَتَيْتُك الْبَارِحَةَ ، فَلَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَكُونَ دَخَلْت إلَّا أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْبَابِ تَمَاثِيلُ ، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ سِتْرٌ فِيهِ تَمَاثِيلُ ، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ كَلْبٌ ، فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِي عَلَى الْبَابِ فَيُقْطَعُ ، فَيَصِيرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَ ، وَمُرْ بِالسِّتْرِ فَلْتُقْطَعْ مِنْهُ وِسَادَتَانِ مَنْبُوذَتَانِ يُوطَآنِ ، وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَلْيُخْرَجْ .
“Jibril pernah mendatangiku, lalu ia berkata, “Aku tadi malam hendak menemui engkau. Namun ada sesuatu yang merintangiku masuk yaitu ada suatu gambar di pintu.” Dan ketika itu di rumahku, ada kain penutup yang bergambar (makhluk bernyawa). Di rumahku juga terdapat anjing.  Potonglah kepala dari gambar yang terdapat di pintu, maka bentuknya nanti sama seperti pepohonan. Untuk bantal atau sandaran pun demikian, yang ada gambarnya dipotong. Untuk anjing, maka usirlah dari rumah.” Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melakukan perintah dari Jibril.
Jika gambar tersebut dipotong lantas tidak nampak lagi bernyawa setelah dipotong, seperti yang terpotong adalah dada, perut, atau yang ada hanyalah kepala yang terpisah dari badan, maka tidak termasuk dalam larangan. Karena setelah dipotong, tidak nampak gambar (yang utuh). Terpotongnya bagian-bagian tadi statusnya sama seperti kepala yang terpotong.
Namun jika ketika dipotong masih teranggap bernyawa, seperti lengkap dengan mata, tangan, atau kaki, maka masih tetap terlarang.
Demikian pula jika di awal pembuatan gambar hanyalah ada badan tanpa kepala, kepala tanpa badan, atau  bentuknya tidak teranggap hidup dengan adanya kepala dan bagian lain dari badannya, maka tidak termasuk dalam larangan. Karena seperti itu bukanlah gambar sesuatu yang bernyawa.”[2]
Adapun jika gambar tersebut bukan yang dimaksud dibeli, namun ikutan pada barang yang lain, maka ada kaedah yang bisa jadi pegangan,
يَثْبُتُ تَبَعًا مَا لَا يَثْبُتُ اسْتِقْلَالًا
Sah jika berbarengan dengan yang lain, namun bermasalah jika bersendirian.
Misalnya kita ingin membeli sabun cuci, namun di kemasannya terdapat gambar manusia, tetapi yang dituju ketika membeli adalah sabunnya (isinya), bukan kemasannya. Maka sah-sah saja membeli sabun cuci seperti itu berdasarkan kaedah fikih di atas.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Haram Dimanfaatkan, Haram Diperdagangkan

Haram Dimanfaatkan, Haram Diperdagangkan


Segala sesuatu yang haram pemanfaatannya, maka haram pula diperdagangkan.
Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan upah (hasil jual belinya).”[1]
Dalam lafazh musnad Imam Ahmad disebutkan,
وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ ، حَرَّمَ ثَمَنَهُ
Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia pun melarang upah (hasil penjualannya).”[2]
Yang termasuk dalam pemanfaatan yang haram sehingga jual belinya terlarang adalah jual beli rokok, dadu, kartu judi, buku yang berisi kekufuran, kebid’ahan, pemikiran sesat atau berisi akhlak yang rusak seperti buku porno, buku yang berisi gambar perempuan yang membuka aurat, baju yang terdapat gambar makhluk yang memiliki ruh, baju yang terdapat gambar wanita, pakaian wanita yang ketat dan seksi, dan baju yang memiliki salib.
Segala makanan atau minuman yang diharamkan, maka diharamkan pula diperdagangkan. Sebagian yang dimaksud sudah disebutkan di atas. Makanan lainnya yang diharamkan adalah:
- Hewan yang disembelih tanpa disebut nama Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)
- Hewan yang dikurbankan atau sebagai tumbal untuk selain Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3).
- Keledai jinak, sedangkan keledai liar itu halal.
Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.“[3]
- Binatang yang bertaring dan burung yang memiliki cakar.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.”[4]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan memiliki taring -menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[5] Adapun yang dimaksud dengan mikhlab (cakar) adalah cakar yang digunakan untuk memotong dan merobek seperti pada burung nasar dan burung elang, sebagaimana dikatakan oleh penulis ‘Aunul Ma’bud.[6]
- Hewan jalalah (yang mengkonsumsi yang najis atau mayoritas konsumsinya najis)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.”[7]
- Setiap yang diperintahkan untuk dibunuh
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya)[8] yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).”[9]
Yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[10]
Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh tokek, beliau menyebut hewan ini dengan hewan yang fasik.”[11] Imam Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim dengan judul Bab “Dianjurkannya membunuh cecak.”
Dari Ummu Syarik –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak. Beliau bersabda, “Dahulu cecak ikut membantu meniup api (untuk membakar) Ibrahim ‘alaihis salam.[12]
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
Barang siapa yang membunuh cecak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.”[13]
- Setiap hewan yang dilarang untuk dibunuh
Hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka ia dilarang untuk dikonsumsi karena jika dilarang untuk dibunuh berarti dilarang untuk disembelih. Lalu bagaimana mungkin seperti ini dikatakan boleh dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah semut, lebah, burung hudhud, burung shurod (kepalanya besar, perutnya putih, punggungnya hijau dan katanya biasa memangsa burung pipit), dan katak.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.”[14]
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman, ia berkata,
أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا.
Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.”[15] Al Khottobi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa katak itu haram dikonsumsi dan ia tidak termasuk hewan air yang dibolehkan untuk dikonsumsi.”[16]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Segala hewan yang dilarang untuk dibunuh disebabkan karena dua alasan. Pertama, karena hewan tersebut adalah terhormat (seperti semut dan lebah, pen) sebagaimana manusia. Kedua, boleh jadi pula karena alasan daging hewan tersebut haram untuk dimakan seperti pada burung Shurod, burung Hudhud dan semacamnya.”[17]

[1] HR. Ad Daruquthni 3: 7 dan Ibnu Hibban 11: 312. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[2] HR. Ahmad 1: 293. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[3] HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940.
[4] HR. Muslim no. 1934.
[5] Syarh Shahih Muslim, 13: 77.
[6] ‘Aunul Ma’bud, 10: 198.
[7] HR. Abu Daud no. 3785 dan At Tirmidzi no. 1824. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih
[8] Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 101.
[9] HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198.
[10]    Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115.
[11] HR. Muslim no. 2238.
[12] HR. Bukhari no. 3359.
[13] HR. Muslim no. 2240.
[14] HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1: 332. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[16]    Aunul Ma’bud, 10: 252
[17]    Idem.

Berapa Persen Standar Keuntungan?

Berapa Persen Standar Keuntungan?


Adakah batasan keuntungan dalam berdagang? Bolehkah kita mengambil keuntungan berlipat-lipat?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Keuntungan itu tidak dibatasi. Boleh saja diambil keuntungan 10, 20, 25% atau lebih dari itu, asalkan tidak ada pengelabuan dalam jual belinya. Besarnya keuntungan di sini dibolehkan selama tidak ada ghoban (pengelabuan).”[1]
Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -semoga Allah senantiasa merahmati beliau- ditanya mengenai standar keuntungan syar’i dalam berdagang. Kemudian bolehkah seseorang membeli suatu barang dengan harga 50 riyal lalu ia jual 80 atau lebih dari itu?
Jawab beliau rahimahullah:
Perlu diketahui bahwa tidak ada batasan keuntungan (menurut syari’at). Keuntungan bisa saja banyak, bisa pula sedikit. Kecuali jika sudah ada batasan harga di pasaran dengan harga tertentu, maka tidak boleh konsumen dikelabui saat itu. Bahkan sudah sepantasnya si pedagang memberitahukan pada pelanggannya bahwa barang ini ada dengan harga sekian dan sekian, namun harga yang ia patok adalah demikian. Jika si pelanggan berminat dengan harga seperti itu, maka tidaklah masalah. Akan tetapi lebih baik memberikan harga seperti yang telah ada di pasaran. Adapun jika harga barang tersebut belum ada di pasaran dan belum ada standarnya, maka ia boleh menjual barang tersebut sesukanya dengan harga yang ia inginkan walau dengan keuntungan 30%, 50% atau semisal itu. Ini jika barang tersebut tidak ada standar harga.
Sekali lagi syari’at tidak menetapkan besarnya keuntungan bagi si pedagang. Akan tetapi seorang mukmin hendaknya memudahkan saudaranya. Hendaknya ia tetap suka walau mendapatkan keuntungan sedikit. Kecuali jika suatu saat kondisi berubah, barang yang ada berubah atau naiknya harga barang karena sedikitnya pasokan atau ada sebab lainnya sehingga keuntungan mesti ia tambah.
Adapun jika seorang pedagang mengelabui orang yang tidak berdaya apa-apa atau ia menipu orang miskin dan ia menjual dengan harga yang terlalu tinggi, maka itu tidak boleh. Hendaknya ia menetapkan harga dengan harga standar seperti yang orang-orang jual. Kecuali jika ia menjual dengan ia katakan bahwa harga standar demikian dan demikian, sedangkan ia jual dengan harga seperti ini, maka seperti itu tidaklah masalah asalkan ia telah jelaskan sesuai realita atau karena alasan pasar yang jauh. Ketika ia naikkan harga seperti itu, ia sudah jelaskan  alasannya. [2]
Lantas bagaimana hukum membatasi harga barang di pasaran? Apakah dibolehkan?
Dalam syari’at Islam dikenal istilah tas’iir. Yang dimaksud tas’iir adalah membatasi harga barang di pasaran, tidak boleh dijual selain dari harga yang telah ditetapkan.
Ada dua macam tas’iir:
1- Bila harga barang di pasaran dibatasi dengan zalim. Padahal para pedagang menjual dengan harga yang wajar. Kalaupun ada kenaikan harga, maka itu terjadi karena keterbatasan stok atau karena besarnya demand (permintaan). Membatasi harga dalam kondisi ini termasuk bentuk kezaliman karena terdapat paksaan tanpa jalan yang benar.
Dalam hadits Anas bin Malik disebutkan,
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ
Sesungguhnya Allah yang pantas menaikkan dan menurunkan harga, Dialah yang menahan dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa dengan Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman pada darah dan harta.”[3]
2- Bila harga barang dibatasi di pasaran dengan adil. Pembatasan harga di sini dapat terjadi ketika masyarakat sangat butuh dengan barang tersebut, lalu barang dijual dengan harga yang tinggi dan tidak logis. Maka orang yang punya wewenang di pasar berhak membatasi harga supaya tidak melonjak tinggi. Pembatasan di sini bertujuan untuk tidak menyusahkan khalayak ramai lantaran kenaikan harga hajat penting mereka. Dibatasilah dengan harga tertentu, jadinya setiap pedagang harus menjual dengan harga semisal itu. Tatkala harga dibatasi demikian, maka wajib diikuti. [4]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika harga barang tidak dibatasi oleh yang berkompeten berarti sah-sah saja mengambil keuntungan berlipat-lipat.
Semoga bermanfaat.

[1] Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 9: 280.
[2] Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/19167.
[3] HR. Abu Daud no. 3451, Tirmidzi no. 1314, Ibnu Majah no. 2200. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[4] Al Mukhtashor fil Mu’amalaat, hal. 25-26.

Larangan Jual Beli di Masjid

Larangan Jual Beli di Masjid


Ada suatu larangan yang jarang diperhatikan oleh setiap pedagang, yaitu larangan jual beli di masjid atau di lingkungan masjid.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ
Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.”[1]
Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.”[2]
Termasuk juga terlarang adalah berjualan di lingkungan masjid yang masih masuk dalam pagar masjid. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
“Sekelilingnya sesuatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.”[3]
Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fikih dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى ، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ . أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، أَلاَ إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِى أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ
Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas. Di antara halal dan haram ada perkara yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa yang berhati-hati dari perkara yang samar, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara yang samar, keadaannya sama seperti seorang pengembala yang mengembala di sekitar daerah larangan (batasan), yaitu lama kelamaan ia bisa terjerumus di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki daerah batasan. Ketahuilah, bahwa wilayah terlarang Allah adalah hal-hal yang Dia haramkan.”[4]
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berhati-hati dari perkara syubuhat (yang masih samar), di mana perkara ini dekat dengan daerah terlarang. Siapa yang menjauhi daerah terlarang ini, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya.[5]

Bagaimana memasang iklan promosi suatu produk di masjid?

Guru penulis, Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan berkata, “Aku memandang bahwa pemasangan iklan pameran dan semacamnya yang ditempel di masjid tetap terlarang guna menutup dari hal yang terlarang (yaitu jual beli di dalam masjid).”[6]
Yang masih dibolehkan di dalam masjid adalah akad selain jual beli seperti melunasi utang, akad nikah, dan menjaminkan barang. Akad-akad semacam ini tidak disebut jual beli.
Adapun jual beli jasa (sewa menyewa) di dalam masjid tidak dibolehkan seperti transaksi kontrak atau sewa rumah di masjid.[7]

[1] HR. Tirmidzi no. 1321. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[2] HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2: 244, no. 601
[3] Al Asybah wan Nazha-ir karya As Suyuthi, 1: 286.
[4] HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599.
[5]Al Haram, hal. 193.
[6] Min Fiqhil Mu’amalat, hal. 51.
[7] Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 2: 567.

Pedagang yang Bermain Curang dalam Timbangan

Pedagang yang Bermain Curang dalam Timbangan


Untuk meraup keuntungan besar, salah satu cara yang dilakukan pedagang adalah bermain curang dalam hal timbangan. Padahal bermain curang seperti ini terancam dalam ayat Al Quran.
Manakah ayat Al Quran yang menyebutkan masalah ini?
Allah Ta’ala berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (3)
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al Muthoffifin: 1-3).
Kalimat Al Muthoffifin ditafsirkan dengan ayat selanjutnya, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi secara sempurna, tanpa boleh ada kekurangan. Namun saat mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka malah mengurangi. Bisa jadi dengan alat takaran atau timbangan yang mereka curangi. Mereka bisa pula berbuat curang dengan enggan menyempurnakan takaran atau timbangan, atau semisal itu. Ini sama saja merampas harta manusia tanpa lewat jalan yang benar.
Jika ancaman bagi yang beruat curang dalam timbangan timbangan atau takaran saja seperti itu, bagaimanakah lagi dengan orang yang merampas dan mencuri, tentu lebih parah dari Al Muthoffifin. Demikian penjelasan dari Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya.
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim berkata bahwa yang dimaksud dengan Al Muthoffifin adalah berbuat curang ketika menakar dan menimbang. Bentuknya bisa jadi, ia meminta untuk ditambah lebih ketika ia meminta orang lain menimbang. Bisa jadi pula, ia meminta untuk dikurangi jika ia menimbangkan untuk orang lain. Itulah mengapa akibatnya begitu pedih yaitu dengan kerugian dan kebinasaan. Itulah yang dinamakan wail.
Ibnu Katsir juga berkata,
وأهلك الله قوم شعيب ودَمَّرهم على ما كانوا يبخسون الناس في المكيال والميزان
“Allah membinasakan dan menghancurkan kaum Syu’aib dikarenakan mereka berbuat curang dalam takaran dan timbangan.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 508).
Wail itu sendiri -menurut Tafsir Al Jalalain-,
كلمة عذاب أو واد في جهنم
Kalimat yang menunjukkan siksa atau lembah di Jahannam.”
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
لما قدم نبي الله صلى الله عليه وسلم المدينة كانوا من أخبث الناس كيلا فأنزل الله: { وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ } فحسنَّوا الكيلَ بعد ذلك
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk di kota tersebut sering bermain curang dalam takaran. Turunlah ayat ‘celakalah al muthoffifin’. Setelah itu barulah mereka memperbagus takaran mereka.” (HR. An Nasai dalam Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan dalam Sunan Ibnu Majah no. 1808).
Ayat lain yang membicarakan perintah untuk bagus dalam takaran atau timbangan,
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al Isra’: 35).
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.” (QS. Al An’am: 152).
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar Rahman: 9).
Semoga Allah beri hidayah pada para pedagang untuk berusaha dengan jujur. Hanya Allah yang memberi taufik.

Dikarenakan Punya Utang Sulit Terampuni Dosa

Dikarenakan Punya Utang Sulit Terampuni Dosa


Dikarenakan utang, sulit terampuni dosa. Benarkah itu?
Kita bisa lihat pelajaran dari hadits berikut.
Dari Abu Qatadah Al Harits bin Rib’i bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di depan khalayak ramai. Kemudian beliau menyebutkan pada mereka bahwa jihad fii sabilillah (jihad di jalan Allah) dan beriman kepada Allah adalah sebaik-baiknya amalan. Kemudian ada seorang lelaki yang berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat Tuan jika saya terbunuh dalam jihad, apakah semua kesalahan saya akan dihapuskan?” Beliau menjawab,
نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ
Benar, jika kamu terbunuh fii sabilillah dalam keadaan sabar, mengharapkan pahala Allah, sedang maju, dan tidak lari mundur ke belakang.” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang engkau katakan tadi?” Orang itu berkata lagi, “Bagaimana pendapat Tuan jika saya terbunuh dalam jihad, apakah semua kesalahan saya akan dihapuskan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ
Benar, jika kamu terbunuh fii sabilillah dalam keadaan sabar, mengharapkan pahala Allah, sedang maju, dan tidak lari mundur ke belakang. Kecuali kalau engkau memiliki utang. Sesungguhnya Jibril mengatakan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim no. 1885).
Hadits di atas menunjukkan bagaimanakah keutamaan jihad dan manfaat beriman kepada Allah. Keduanya disebut sebagai sebaik-baik amalan. Untuk jihad perlu ada kesabaran, niatannya mengharap pahala dari Allah, bukan untuk mengharap dunia, serta tidak pengecut di medan perang. Disebutkan pula bahwa pengampunan dosa bisa diperoleh dari jihad, namun dengan catatan orang yang berutang harus lepas dari utang.
Apa utang yang dimaksudkan di sini?
Adapun yang tercela dalam hadits adalah orang yang berutang dan mampu melunasi utangnya namun enggan untuk melunasi karena khawatir hartanya berkurang atau hilang. Beda halnya jika tidak mampu atau ada udzur untuk melunasi. Lihat Nuzhatul Muttaqin, hal. 122.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seseorang berperang di jalan Allah dengan sabar, mengharap pahala dari Allah, dan tidak bersifat pengecut di medan perang, maka dosa-dosanya akan terampuni kecuali jika ia memiliki utang. Utang ini tidaklah jadi gugur hanya karena yang berperang itu mati syahid. Karena utang adalah hak sesama manusia. Hak manusia mestilah ditunaikan.
Inilah yang menjadi dalil tentang bahayanya berutang. Tidak pantas bagi seorang muslim meremehkan masalah utang. Namun di zaman ini, utang begitu dijadikan hal yang mudah. Ada orang yang sengaja berutang (dengan kredit) padahal ia sebenarnya tidak butuh dengan barang yang ia beli, yang dibeli hanyalah barang tersier (pelengkap saja). Ia membeli barang tersebut dengan kredit atau semacamnya. Nyatanya, barang ia beli saja tidak ia butuh.
Ada orang miskin juga yang membeli mobil dengan harga 80.000 riyal (240 juta rupiah) padahal sebenarnya ia cukup menyewa saja dengan 20.000 riyal. Namun itulah karena kurangnya peduli pada agama dan lemahnya keyakinan.
Kami nasehatkan bahwa hendaklah seseorang tidak mengambil kredit. Kalau memang dibutuhkan, maka ambillah dengan harga yang paling kecil yang mungkin untuk dilunasi. Kurangilah pula untuk berutang.” (Syarh Riyadhis Sholihin, 2: 526).
Kami berdoa, moga Allah memberikan kita ketakwaan, menjauhkan diri dari murka Allah dan mencukupkan kita dengan rezeki yang Allah beri.

Panduan Ringkas Ilmu Waris

Panduan Ringkas Ilmu Waris


Ilmu waris adalah ilmu yang sangat sedikit sekali dipelajari untuk saat ini. Dalam hadits marfu’ disebutkan, “Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faroidh (ilmu waris) dan ajarkanlah karena ilmu tersebut adalah separuh ilmu dan saat ini telah dilupakan. Ilmu warislah yang akan terangkat pertama kali dari umatku.” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi. Hadits ini dho’if). Namun sudah menunjukkan kemuliaan ilmu waris karena Allah Ta’ala telah merinci dalam Al Qur’an mengenai hitungan warisan. Dan Allah yang memberikan hukum seadil-adilnya. Beda dengan anggapan sebagian orang yang menganggap hukum Allah itu tidak adil karena suuzhonnya pada Sang Kholiq.
Pada kesempatan kali ini, kami hanya menghadirkan secara ringkas mengenai perihal waris. Tidak seperti biasanya kami berkutat dengan banyak dalil. Kami buat panduan waris kali ini dengan begitu sederhana yang banyak merujuk dari kitab fikih Syafi’i Matan Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’). Dalam tulisan kali ini, kami pun menyampaikan contoh-contoh sederhana mengenai masalah waris. Semoga bermanfaat.
Ahli waris dari laki-laki ada 10:
  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
  3. Ayah
  4. Kakek dan seterusnya ke atas
  5. Saudara laki-laki
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) walaupun jauh (seperti anak dari keponakan)
  7. Paman
  8. Anak laki-laki dari paman (sepupu) walaupun jauh
  9. Suami
  10. Bekas budak laki-laki yang dimerdekakan
Ahlis waris dari perempuan ada 7:
  1. Anak perempuan
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan seterusnya ke bawah
  3. Ibu
  4. Nenek dan seterusnya ke atas
  5. Saudara perempuan
  6. Istri
  7. Bekas budak perempuan yang dimerdekakan
Hak waris yang tidak bisa gugur:
  1. Suami dan istri
  2. Ayah dan ibu
  3. Anak kandung (anak laki-laki atau perempuan)
Yang tidak mendapatkan waris ada tujuh:
  1. Budak laki-laki maupun perempuan
  2. Budak yang merdeka karena kematian tuannya (mudabbar)
  3. Budak wanita yang disetubuhi tuannya dan melahirkan anak dari tuannya (ummul walad)
  4. Budak yang merdeka karena berjanji membayarkan kompensasi tertentu pada majikannya (mukatab)
  5. Pembunuh yang membunuh orang yang memberi waris
  6. Orang yang murtad
  7. Berbeda agama

Ashobah yaitu orang yang mendapatkan warisan dari kelebihan harta setelah diserahkan pada ashabul furudh.
Urutan ‘ashobah dari yang paling dekat:
  1. Anak laki-laki
  2. Anak dari anak laki-laki (cucu)
  3. Ayah
  4. Kakek
  5. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  6. Saudara laki-laki seayah
  7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan)
  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (keponakan)
  9. Paman
  10. Anak paman (sepupu)
  11. Jika tidak didapati ‘ashobah, baru beralih ke bekas budak yang dimerdekakan


Ashabul furudh yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kadar yang telah ditentukan dalam kitabullah.
Kadar waris untuk ashabul furudh:
  1. 1/2
  2. 1/4
  3. 1/8
  4. 2/3
  5. 1/3
  6. 1/6
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/2 ada lima:
  1. Anak perempuan
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
  3. Saudara perempuan seayah dan seibu
  4. Saudara perempuan seayah
  5. Suami jika tidak memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/4 ada dua:
  1. Suami jika istri memiliki anak atau cucu laki-laki
  2. Istri jika tidak memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/8:
-          Istri jika memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 2/3 ada empat:
  1. Dua anak perempuan atau lebih
  2. Dua anak perempuan dari cucu laki-laki (cucu perempuan) atau lebih
  3. Dua saudara perempuan seayah dan seibu atau lebih
  4. Dua saudara perempuan seayah atau lebih
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/3 ada dua:
  1. Ibu jika si mayit tidak dihajb
  2. Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan  yang seibu
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/6 ada tujuh:
  1. Ibu jika memiliki anak atau cucu, atau memiliki dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan
  2. Nenek ketika tidak ada ibu
  3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan masih ada anak perempuan kandung
  4. Saudara perempuan seayah dan masih ada saudara perempuan seayah dan seibu
  5. Ayah jika ada anak atau cucu
  6. Kakek jika tidak ada ayah
  7. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu


Hajb atau penghalang dalam waris:
  1. Nenek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ibu
  2. Kakek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ayah
  3. Saudara laki-laki seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak (laki-laki atau perempuan), cucu (laki-laki atau perempuan), ayah dan kakek ke atas
  4. Saudara laki-laki seayah dan seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, dan ayah
  5. Saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah dan saudara laki-laki  seayah dan seibu
Kaedah yang perlu diingat: Siapa yang tumbuh dari si fulan, selama si fulan ini ada, maka ia tidak mendapatkan warisan. Misalnya seorang cucu tidaklah mendapatkan waris jika masih ada anak si mayit (ayah dari cucu tadi).

Yang menyebabkan saudara perempuan mendapatkan jatah separuh laki-laki karena adanya 4 orang:
  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki
  3. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  4. Saudara laki-laki seayah
Paman laki-laki, anak laki-laki dari paman (sepupu), anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) dan tuan yang membebaskan budak mendapatkan waris tanpa saudara-saudara perempuan mereka.

Contoh soal 1:
Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan  1 orang istri , 1 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan dari anak laki-laki.
Jawab:
Cucu perempuan: hajb (terhalang) karena adanya anak laki-laki
Istri: 1/8 karena terdapat anak dan cucu.
Sisa 7/8 untuk anak laki-laki.
Ahli waris
Bagian
Ashlul Masalah = 8
Istri
1/8
1
Anak laki-laki
sisa
7
Cucu perempuan
-
-

Contoh soal 2:
Seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan 1 anak perempuan dan seorang ayah.
Jawab:
Ayah: 1/6 + 2/6 ‘ashobah
Anak perempuan: 1/2 karena hanya satu, tidak ada anak laki-laki
Ahli waris
Bagian
Ashlul Masalah = 6
Anak perempuan
1/2
3
Ayah
1/6 + sisa
3

Contoh soal 3:
Seorang wanita meninggal dunia dengan meninggalkan seorang suami, 1 anak perempuan, 1 anak perempuan dari anak laki-laki, 1 anak laki-laki dari anak laki-laki dari anak laki-laki (cicit).
Jawab:
Suami: 1/4
Anak perempuan: 1/2
Anak perempuan dari anak laki-laki: 1/6
Cicit: sisanya = 1/12
Ahli waris
Bagian
Ashlul Masalah = 12
Suami
1/4
3
Anak perempuan
1/2
6
Anak perempuan dari anak laki-laki
1/6
2
Cicit
sisa
1

Contoh soal 4:
Seorang pria meninggal dunia meninggalkan seorang ibu, seorang saudara kandung wanita dan seorang paman.
Jawab:
Ibu: 1/3
Saudara kandung wanita: 1/2
Paman: sisa = 1/6
Ahli waris
Bagian
Ashlul Masalah = 6
Ibu
1/3
2
Saudara kandung wanita
1/2
3
Paman
sisa
1

Contoh soal 5:
Seorang pria meninggal dunia dengan meninggalkan seorang  ibu, seorang ayah, anak laki-laki, saudara kandung laki-laki
Jawab:
Ibu: 1/6
Ayah: 1/6
Saudara kandung laki-laki: hajb (terhalang oleh anak laki-laki)
Anak laki-laki: sisa
Ahli waris
Bagian
Ashlul Masalah = 6
Ibu
1/6
1
Ayah
1/6
1
Anak laki-laki
sisa
4
Saudara kandung laki-laki
-
-

Contoh soal 6:
Seorang pria meninggal dunia dan meninggalkan 2 anak laki-laki, 1 anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu), ayah, kakek dan nenek.
Jawab:
Ayah: 1/6
Dua anak laki-laki: sisa
Cucu: hajb (terhalangi oleh anak laki-laki)
Kakek: hajb (terhalangi oleh ayah)
Nenek: 1/6
Ahli waris
Bagian
Ashlul Masalah = 6
Ayah
1/6
1
Nenek
1/6
1
2 anak laki-laki
sisa
4
Cucu
-
-
Kakek
-
-

Contoh soal 7:
Seorang pria meninggal dunia dan meninggalkan ayah, 1 anak perempuan, 1 anak laki-laki, 1 paman, 1 kakek, 1 anak perempuan dari anak laki-laki.
Jawab:
Ayah: 1/6
Kakek: hajb (terhalangi oleh ayah)
Anak perempuan dari anak laki-laki: hajb (terhalangi oleh anak laki-laki)
Paman: hajb (terhalang oleh anak laki-laki dan ayah)
Anak laki-laki dan anak perempuan: sisa
Anak perempuan: separuh dari laki-laki
Ahli waris
Bagian
Ashlul Masalah = 6
Ayah
1/6
1
Kakek
-
-
Anak perempuan dari anak laki-laki
-
-
Anak laki-laki
2/3
10/3
Anak perempuan
1/3
5/3

Contoh soal 8:
Seorang pria meninggal dunia dan meninggalkan 1 anak perempuan, 1 saudara perempuan seayah, 1 anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, 1 saudara laki-laki seibu.
Jawab:
Anak perempuan: 1/2
Saudara laki-laki seibu: hajb (terhalangi oleh anak perempuan)
Saudara perempuan seayah: sisa
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah: hajb (terhalangi oleh saudara perempuan seayah)
Ahli waris
Bagian
Ashlul Masalah = 2
Anak perempuan
1/2
1
Saudara laki-laki seibu
-
-
Saudara perempuan seayah
sisa
1
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
-
-

Semoga sajian sederhana ini bermanfaat. Pertanyaan seputar waris yang bisa kami jawab, silakan tujukan pada email  kami (rumaysho@gmail.com). Insya Allah jawabannya akan dimuat dalam bentuk artikel tersendiri. Ini berlaku mulai tanggal 25 Muharram 1434 H (09/12/2012). Karena kadang lewat comment di bawah artikel ini, lambat kami respon.