Dua pengikut aliran sufi terbesar di dunia, yaitu Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah,
kedua-duanya terdapat di Indonesia. Tidak diketahui secara pasti
bagaimana paham Qadiriyyah datang ke Indonesia. Syed Naguib al-Attas
memberitahukan bahwa Hamza Fansuri (Sumatera Utara) adalah pengikut
Thariqat Qadiriyyah, sebagai seorang yang bereputasi, dia berhasil
mengumpulkan pengikutnya. Belakangan diketahui, bahwa rujukan pengikut Qadiriyyah adalah Syaikh Abd al-Qâdir al-Jaylânî, sebagaimana ditemukan dalam puisi Fansuri, yang berdomisili di Aceh pada pertengahan abad 16. Sebagai tambahan, bahwa dalam prosa Fansuri tertulis Syaikh Sufi terkenal seperti Abû Yazid al-Bustamî, Junayd al-Baghdâdi, Manshûr al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Ibn Arabi, Jami, Attar, dan beberepa syaikh lainnya.
Diungkapkan bahwa orang pertama yang memperkenalkan Qadiriyyah adalah Syikh Yusuf Makassar (1626-1699). Guru Qadiriyyahnya, Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad al-Hamid, seorang imigran dari Gujarat bersama pamannya Nur al-Dîn al-Raniri. Di Yaman, Syaikh Yusuf belajar ajaran Naqshabandiyyah dari Syaik terkenal dari Arab, Muhammad Abd al-Baqi. Sufi lainnya dari Aceh, Abd al-Rauf al-Sinkili, yang belajar di Madinah pada pertengahan abad 17 di bawah bimbingan Syaikh Ahmad al-Qushashi dan Ibrahim al-Qurani, dimana mereka merupakan Guru Paham Qadariyyah.
Lombard menginformasikan kepada kita, bahwa asal muasal Thariqat Naqsabandiyyah di Indonesia, ditunjukkan dengan pernyataan L.W.C van den Berg,
bahwa Dia datang dan aktivitas Thariqat Naqsabandiyyah telah ada di
Aceh dan Bogor, dimana dia menyaksikan dzikir Naqsabandiyyah sebagai
aktivitas utama. Kemudian Dia menggambarkan kedatangan Thariqat
Naqsabandiyyah di wilayah Medan, tepatnya di Langkat.
Penulis berikutnya menggambarkan bahwa Syaikh Abd al-Wahhab Rokan al-Khalidi al-Naqshabandi
memperkenalkan Naqsabandiyyah ke Riau. Setelah menghabiskan waktu
selama 2 tahun di Malaysia dalam rangka berdagang, beliau pergi ke
Makkah dan belajar di bawah bimbingan Syaik Sulaiman al-Zuhdi. Pada tahun 1845, beliau mendapatkan sertifikat dan kembali ke Riau kemudian mendirikan perkampungan Thariqat Naqsabandiyyah dengan nama Bab al-Salâm .
Pada abad ke-19, Thariqat Naqshabandiyyah mempunyai cabang di Makkah, dimana menurut Trimingham, salah satu Syaikh Naqshabandiyyah dari Minangkabau
(Sumatera Barat) juga aktif pada tahun 1845. Dari Makkah, Thariqat
Naqshabandiyyah tersebar luas ke berbagai negara termasuk ke Indonesia,
melalui jamaah haji setiap tahun. Kedua Thariqat tersebut muncul pada
abad ke-7 dan 8 Hijriyyah (abad ke-12/13 Masehi). .
Thariqat
Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan
muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam
membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas
sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut
kedua Thariqat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme
Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan
institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Survey tentang sejarah
Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai hubungan yang erat
dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah
satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang
dijelaskan di atas, tetapi praktek-praktek Thariqat ini menghiasi
kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia. Selanjutnya, Syikh Sambas tidak mengajarkan kedua Thariqat ini secara terpisah, tetapi dalam satu kemasan (penggabungan kedua Thariqat).
Sejarah Singkat Syaikh Sambas
Khatib Sambas dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, Beliau memutuskan untuk pergi menetap di Makkah pada permulaan abad ke-19, sampai beliau wafat pada tahun 1875. Diantara guru beliau adalah; Syaikh Daud ibn Abdullah al-Fatani, seorang syekh terkenal yang berdomisili di Makkah, Syaikh Muhammad Arshad al-Banjari, dan Syekh Abd al-Samad al-Palimbani. Menurut Naquib al-Attas, Khatib Sambas adalah Syaikh Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah. Hurgronje menyebutkan bahwa Beliau adalah salah satu guru dari Syaikh Nawawi al-Bantani, yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu Islam.
Zamakhsari Dhafir
menyatakan bahwa peranan penting Syaikh Sambas adalah melahirkan
syaikh-syaikh Jawa ternama dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan
Malaysia pada pertengahan abad ke-19.
Kunci kesuksesan Syaikh Sambas ini adalah bahwa beliau bekerja sebagai fath al-Arifin, dengan mempraktekkan ajaran sufi di Malaysia yaitu dengan bay'a, zikir, muraqabah, silsilah, yang dikemas dalam Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah.
Gambaran Disiplin Ilmu Syaikh Sambas
Masyarakat
Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syaikh Sambas melalui
ajaran-ajarannya setelah beliau kembali dari Makkah. Dikatakan bahwa
Syaikh Sambas merupakan Ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak
melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir,
diantaranya Syaikh Abd al-Karim Banten. Abd al-Karim terkenal sebagai Sulthan al-Syaikh,
beliau menentang keras imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan
kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syaikh
Sambas.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah,
mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan
pengikut Sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syaikh
Sambas adalah sebagai seorang Ulama, dimana tuduhan penulis Eopa
tersebut tidak tepat ditujukan kepada beliau. Syaikh Sambas dalam
mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan syaikh-syaikh besar
lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dimana mereka berdua pernah menetap di Makkah.
Thariqat
Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah menarik perhatian sebagian masyarakat
muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan
pada akhir abad ke-19 Thariqat ini menjadi sangat terkenal. Thariqat
Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah tersebar luas melalui Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Brunei Darussalaam.
Periode Setelah Syaikh Sambas
Pada tahun 1970, ada 4 tempat penting sebagai pusat Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di pulau Jawa yaitu: Rejoso (Jombang) di bawah bimbingan Syaikh Romli Tamim, Mranggen (Semarang) di bawah bimbingan Syaikh Muslih, Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan Syaikh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Mbah Anom), dan Pagentongan (Bogor) di bawah bimbingan Syaikh Thohir Falak. Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah, Suryalaya mewakili garis aliran Syaikh Tolhah dan yang lainnya mewakili garis aliran Syaikh Abd al-Karim Banten dan penggantinya.
Pada
prakteknya, ajaran Thariqat disampaikan melalui ceramah umum di masjid
atau majelis ta'lim di rumah salah satu anggota Thariqat. Sehingga tidak
mengagetkan jika selama masa ceramah umum, tidak ada materi yang
terekam dengan cermat. Bagaimanapun juga, di bawah bimbingan Mbah Anom,
mempunyai kontribusi yang besar, dimana ajaran thariqat dibukukan dalam
sebuah kitab berjudul Miftah ash-Shudur. Tujuan dari kitab ini
adalah untuk mengajarkan teori dan praktek Thariqat Qadiriyyah wa
Naqshabandiyyah sebagai usaha mencapai kebahagiaan di dunia dan
keselamatan di akhirat. Hasil usahanya yang lain terkemas dalam kitab Uqud al-Juman, al-Akhlaq al-Karimah, dan buku Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja.
Peranan Thariqat dalam Reformasi Sosial
Maulana Syaikh Muhammad Nazim Adil
telah menjelaskan bahwa setelah terorisme, permasalahan terbesar umat
manusia kedua adalah penyalahgunaan narkotika oleh generasi muda (The Muslim Magezine,
Spring 1999). Permasalahan sosial ini bukan hanya dialami oleh bangsa
Barat, tetapi juga menimpa kalangan generasi muda seluruh dunia.
Walaupun jumlah korban narkoba di negara-negara Asia tidak sebesar di
Barat, tetapi permasalahan ini menarik perhatian yang sangat serius bagi
Mbah Anom untuk mendirikan Pondok Inabah,
pusat rehabilitasi korban narkoba dengan dzikir sebagai obatnya.
Metodologi Mbah Anom didasarkan pada hasil pengalaman spiritual beliau
sebagai seorang sufi dan kepercayaannya bahwa dzikrullah
mengandung pencahayaan/penerangan, karakter khusus dan rahasia yang
dapat mengobati muslim yang mempercayainya. Hal ini didasarkan pada
firman Allah: "Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingatmu".
Jasa dan keuntungan dari dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya dapat
dirasakan oleh sebagian masyarakat yang telah pergi berobat ke sana.
Penelitian terhadap metodologi Mbah Anom pernah dilakukan oleh DR. Emo Kastomo pada tahun 1989.
Dia melakukan evaluasi secara random terhadap 5.929 orang pasien di 10
Pondok Inabah. Dan hasilnya, 5.426 orang sembuh, 212 orang dalam proses
menuju sembuh, dan 7 orang pasien meninggal dunia.
Peranan Thariqat dalam Politik
Ada tiga keikutsertaan pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah dalam usaha mancapai Indonesia merdeka, yaitu:
Pertama, keikutsertaan para syaikh dan haji di Banten pada revolusi Juli 1888. Dilaporkan bahwa Syaikh Abd al-Karim Banten tidak tertarik dengan akivitas politik, namun penggantinya Haji Marzuki
lebih berpikiran reformis dan sangat anti Belanda. Walaupun Thariqat
tidak memimpin dalam revolusi, tetapi Belanda khawatir dengan
pengaruhnya, dan sebagian besar diantara mereka meyakini bahwa secara
umum pengikut sufi khususnya Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah
merupakan organisasi yang mempunyai tujuan untuk mengalahkan kekuatan
kolonial.
Kedua, perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah Syaikh Guru Bangkol. Belanda mempertimbangkan bahwa Thariqat merupakan faktor terpenting timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Walaupun penasehat Pemerintah Belanda Snouck Hurgrounje
memberikan masukan bahwa terlalu berlebihan untuk menilai Thariqat
sebagai usaha politik untuk melawan Belanda, pendapatnya tersebut tidak
dindahkan sampai muncul Syarikat Islam, sebuah organisasi politik yang berdiri pada tahun 1911.
Ketiga,
sekarang di Jawa ada tiga cabang terbesar Thariqat Qadiriyyah wa
Naqshabandiyyah yaitu Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya, masing-masing
memberikan dukungan terhadap partai-partai politik, dimana beberapa
diantara mereka terlibat aktif dalam partai politik.
Gambaran Thariqat di Indonesia Sekarang
Pada tahun 1957, Jam'iyyah Ahl Thariqah Mu'tabarah didirikan oleh Nahdlatul Ulama,
yang pada saat itu juga berbentuk partai. Tujuannya adalah untuk
menyatukan semua kekuatan Thariqat dan memelihara silsila yang dimulai
dari Nabi Muhammad Saw.. Jam'iyyah ini memelihara dan mengajarkan ajaran
tasawuf dari 45 kekuatan Thariqat yang pernah ada pada tahun 1975. Syaikh Mustain Romly dari Rejoso diangkat sebagai pimpinan Jam'iyyah ini. Pada tahun 1979, ketika Syaikh Mustain Romli merubah afiliansinya dari Partai Persatuan Pembangunan ke GOLKAR, para Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Nahdliyyah, Pimpinan Jam'iyyah ini adalah Syaikh Haji DR. Idham Kholid, dimana pada saat itu pernah menyambut kedatangan Syaikh Muhammad Hisham Kabbani pada bulan Desember 1977.
Kamis, 13 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
NB: Tulis saran,dan kritik mohon tidak menuliskan hal-hal yang mengandung unsur SARA, kata - kata yang provokativ (Flamming) maupun menjurus Pornografi, SPAMMING maupun Promosi dan supaya lebih bagus??????